Karya : Ni Luh Putu Mira Suantari
Deru sang penghuni jalanan tiada henti menambah hiruk pikuk yang kian membisingkan telinga pendengarnya. Bunyi klakson yang saling bersahutan berkumandang tanpa kenal lelah, menampakkan emosi dan keegoisan sang penghuninya. Mentari yang sedari tadi tersenyum menikmati segala aktivitas makhluk di bawahnya, semakin menampakkan keagungannya dengan teriknya yang kian membara. Semilir angin kemarau pun tak ingin kalah pada sang surya, beradu dalam alunannya bersama debu-debu jalanan kota.
Di sudut kota itu, terdampar seorang wanita yang tengah menjauh dari kebisingan kota, menjauh dari segala caci maki yang mungkin menghampiri hidupnya. Pakaian lusuh yang tersapu abu jalanan, menutupi lekuk tubuhnya yang semampai. Rambut yang panjang dan terurai itu, dibiarkannya terbuai dalam belaian lembut sang bayu. Raut-raut kecantikan yang masih terpancar di wajahnya yang sendu, kini tertutup oleh debu jalanan yang menodai kedua pipinya.
Wanita paruh baya yang kesepian itu mulai bermain dalam dunianya sendiri, tiada peduli dengan alam sekitarnya yang penuh dengan rutinitas sang pencari nafkah. Dengan telaten ia menggendong anaknya, memangkunya dalam dekapan penuh cinta seorang bunda. Dielusnya perlahan wajah anaknya yang tertidur dalam buaiannya, tak hentinya tangan-tangan kotor itu mengusap-usap rambut buah hatinya. Dengan hati yang diliputi suka, ditimang-timangnya gadis kecil dalam buaiannya itu, dinyanyikannya lagu sayang dari lubuk hatinya yang terdalam.
Wanita itu kini mulai memalingkan wajahnya, memandangi jalan di hadapannya dengan seksama. Di sudut jalan itu terlihat jelas hamparan anak-anak jalanan yang saling beradu pandang, menanti dan mengharapkan kebaikan hati sang pengguna jalan. Tubuh mereka kurus tak terurus, berbaju kumuh yang tak sedap dipandang mata. Aroma jalanan yang menusuk indra penciuman seakan melekat di tubuh mereka, menjadi kawan yang setia, kawan yang selalu temani hari-harinya.