Karya : Mira Suantari
Kupandangi cakrawala senja dengan kesendirianku. Kubiarkan sang bayu menerpa rambutku yang terurai. Perlahan bayangan masa lalu itu pun kian menghampiriku. Sesegera mungkin kuusir kenangan pahit yang kian menyapaku.
Kupandangi lagi indahnya senja di pantai. Kubiarkan waktu membawaku larut dalam suasana itu. Namun tatkala aku telah larut, suara handphone pun membuyarkan lamunanku.
“Rena, kamu dimana? Kenapa belum pulang, sayang?” suara Mama terdengar begitu mencemaskanku.
“Sebentar lagi, Ma… Jam 8 aku dah di rumah kok”, sahutku.
“Iya.. hati-hati ya sayang”, kata Mama menutup teleponnya.
Sejak kepergian Papa, Mama sama sekali tak pernah memarahiku, ia begitu menyayangiku karena akulah satu-satunya yang Mama miliki.
Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Segera ku pulang ke rumah karena Mama telah menantiku.
Tepat jam 8 aku sampai di rumah. Kulihat raut wajah Mama yang mencemaskan keadaanku. “Kemana tadi sayang?”, tanya Mama dengan lembut.
“Ke pantai, Ma”, jawabku sembari menuju ke kamar, meninggalkan Mama yang hanya diam terpaku.
Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Kututup mataku sejenak. Bayang-bayang kelam itu semakin mendekatiku. Membawaku kembali pada kenangan terindah sekaligus terpahit dalam hidupku.
***
Hari itu, adalah hari ulang tahunku yang ke-17. Hari ulang tahun yang paling ditunggu-tunggu setiap remaja, namun tak begitu bagiku. Hari ulang tahun itu hanya kulalui bersama Mama dan Papa juga Reza, kekasihku.
Pagi yang cerah hanyalah tipuan dari apa yang sebenarnya terjadi. Pagi itu Reza membangunkanku lewat sms manisnya.
“Selamat ulang tahun, sayang. Aku sayang kamu.”
Aku pun bergegas keluar kamar dan menemui Mama dan Papa.
“Surprise…”, kata Mama dan Papa yang memberiku kejutan sambil membawa kue ulang tahun ditangannya. Kutiup lilin ke-17 itu dengan rasa bahagia.
“Selamat ulang tahun, sayang. Mama sayang kamu.”
“Papa juga sayang kamu, Rena”, kata Papa sambil mencium keningku. Kata-kata Papa begitu menyentuh perasaanku. Tak kusangka itu adalah kata-kata terakhir darinya.
Di luar terdengar suara deru motor Reza. Ia datang menjemputku untuk merayakan hari ulang tahunku.
“Ma…, Pa…, Rena pergi dulu ya.”
“Ya… hati-hati ya sayang”, kata Mama.
“Jangan ngebut ya Reza…”, kata Papa.
“Baik Om… Pergi dulu ya, Om… Tante…”, kata Reza meninggalkan Mama dan Papaku.
“Kita mau pergi kemana, Rez?”
“Ada dech… Lihat nanti aja… Aku punya surprise buat kamu.”
“Ok… Kita sampai. Sekarang kamu tutup mata dulu ya!”
“Kenapa harus tutup mata, Rez?”, tanyaku penasaran.
“Namanya juga surprise, Rena sayang.”
Reza pun membawaku ke suatu tempat.
“Surprise…”, kata Reza sambil membuka mataku.
Aku terpesona melihat apa yang ada di depanku. Hamparan laut lepas dengan panorama yang begitu indah, membuatku terkagum-kagum akan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Kamu suka gak sama tempat ini? Hanya ini yang bisa aku berikan di hari ulang tahunmu”, kata Reza yang terlihat sedih.
“Hhm… gak apa-apa kok… Kamu ada di sampingku aja, sudah cukup untukku”, kataku sambil menikmati indahnya panorama pantai di hadapanku.
“Hhm… Rena… Aku ingin kamu tahu satu hal.”
“Apa, Rez?”
“Aku mau kamu tahu, aku akan selalu ada untukmu sampai kapan pun.”
“Kenapa kamu bilang begitu, Rez?”
“Gak… aku Cuma ingin kamu tahu aja, kalau di hatiku akan selalu ada kamu, Rena.”
“Dan,,, ini untuk kamu.”
Reza menyematkan sebuah cincin putih di jari manisku. Ia pun mencium keningku dengan hangat. Tak pernah kurasakan Reza bersikap seperti ini padaku. Seolah-olah akan terjadi satu hal yang tak kutahu pastinya.
Tiba-tiba apa yang kutakutkan terjadi. Reza lemas dan terjatuh. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Kugoyang-goyangkan tubuh Reza yang tak berdaya.
“Reza… bangun Rez… Kamu kenapa? Bangun Rez… Bangun… Kamu kenapa Rez…?”
Air mataku mulai mengalir melihat Reza yang tak sadarkan diri.
“Reza… bangun Rez… Jangan tinggalin aku!” Reza membuka matanya perlahan.
“Rena… maafin aku… aku sayang kamu, Ren…”, kata terakhir Reza.
Segera kutelepon ambulan untuk membawa Reza ke rumah sakit. Namun hanya beberapa saat setelah sampai di rumah sakit, Reza meninggalkanku untuk selamanya.
“Reza….”, teriakku sambil menggenggam tangannya yang mulai terasa dingin dan kaku.
Aku berlari keluar. Kuluapkan semua kesedihanku di lorong rumah sakit itu. Seketika itu, aku melihat seorang wanita yang tak asing bagiku. Kuhampiri wanita itu sembari menghapus air mataku. Betapa terkejutnya aku saat kutahu itu adalah Mama.
“Mama….”, seruku.
“Kenapa Mama ada disini? Kenapa Mama menangis? Ada apa Ma?”, kuhujani Mama dengan sejuta pertanyaan.
“Papa, Ren… Papa dah pergi meninggalkankan kita, Ren.”
“Papamu mengalami kecelakaan, Ren… Papa meninggal Ren…”, kata Mama dalam isak tangisnya.
Aku tertegun mendengar kata-kata Mama. Tanpa sadar air mataku terjatuh lagi.
“Papa….”, jeritku tak sadarkan diri.
---
Perlahan kubuka kedua mataku. Kulihat Mama menangis di sampingku.
“Mama…”, kataku perlahan.
“Sudahlah Rena… Janganlah kau ingat kenangan itu. Mama gak sanggup melihat kamu seperti ini, Rena. Iklaskanlah kepergian Papa dan Reza. Semua ini sudah kehendak Yang Kuasa. Mama tahu, kamu begitu mencintai Reza. Mama juga tahu kamu sangat menyayangi Papa. Tapi, kamu tak boleh seperti ini, Rena. Reza akan sedih jika melihat kamu seperti ini. Sudahlah…. Biarlah kenangan itu berlalu”, kata Mama sambil menghapus air mataku.
Kupeluk erat tubuh Mama dan menangis dipelukannya. Kucoba lupakan semua yang kualami dan semua kenangan pahit yang kurasakan. Namun, Reza dan Papa akan tetap abadi, kan kujaga selamanya dalam hatiku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar