Karya : Mira Suantari
Mentari tersenyum, burung-burung berkicau dengan merdunya. Kuncup daun yang masih basah menari-nari dalam belaian semilir angin pagi. Lembayung merah di ufuk timur menyejukkan hati semua ciptaanNya. Menjadi sebuah awal yang indah untuk sebuah perjalanan waktu.
Aku tersentak, segera kuambil tas di meja dan buru-buru berangkat ke sekolah, tak mau melewatkan hari pertamaku menginjak bangku SMA. Suasana penuh semangat terhampar saat ku mulai memasuki ruang kelas itu. Kulihat teman-teman yang lain telah memilih singgasananya masing-masing, dan aku bergegas tak mau ketinggalan.
Detik-detik pelajaran terasa cepat berlalu, bel istirahat pun berbunyi mengakhiri pelajaran ke 5. Hampir semua temanku menuju ke kantin untuk melepaskan dahaga. Aku hanya melirik sejenak dan memilih bersantai dengan duduk di depan kelas. Ketika sedang asyik mengamati sekeliling, pandanganku beralih ke taman itu saat kulihat seseorang sedang asyik mendengarkan alunan lagu dari I-Podnya. Sosoknya yang begitu santai menarik perhatianku. Ia tersenyum saat melihatku memandanginya sedari tadi. Aku tersipu malu.
Sepulang sekolah, kutelusuri jalan ini bersama teriknya matahari. Panas yang menyengat tak menghancurkan semangatku untuk segera sampai di rumah. Semakin lama, kakiku pun akhirnya menyerah juga. Kupilih beristirahat sejenak sembari mengatur kembali nafasku yang terengah-engah.
“Kamu Marsha kan?” katanya sambil tersenyum padaku.
“Kamu… kamu…”, kataku berbata-bata.
“Iya…, ini aku yang kamu lihat di taman tadi”.
“Oh… tapi, bagaimana kamu tahu namaku?, kita kan belum saling kenal?” tanyaku sedikit ragu.
“Ada dech itu rahasia… Hehehe… Aku Ryan. Sendirian aja ya, mau kemana sie sampai kayak gitu ?”
“Ya, seperti yang kamu lihat gak ada siapa-siapa disini. Aku mau pulang lah, kamu gak pulang? ”.
“Pulang lah. Ngomong-ngomong rumahmu di mana?”.
“Rumahku di lagi dua belokan di depan itu”
“Aku juga lewat sana, barengan yuk!”
“Ok…”
Sejak pertemuan itu, aku dan Ryan beteman akrab, kami pun menjadi sahabat. Namun, lama-kelamaan ada yang tak menentu yang kurasa. Perasaanku campur aduk bila melihat Ryan bersama yang lain. Kadang aku cemburu, kadang juga takut, bila harus kehilangannya suatu hari nanti. “Apakah aku mulai suka padanya? Apakah perasaanku ini lebih dari sahabat?” tanyaku dalam hati. Tak ada jawaban.
Aku putuskan untuk metutupi perasaan itu pada Reno, karna aku tak ingin merusak persahabatan yang baru kurangkai bersamanya. Tapi, semakin kupendam, perasaan itu semakin dalam padanya. Aku tak tahu apakah perasaanku sama dengan yang dia rasakan. Tapi kurasa tidak, mungkin perasaannya hanya menganggapku sebagai sahabat barunya, tak lebih.
Waktu terus berlalu, berharap keajaiban datang padaku, memusnahkan semua rasa yang kupunya untuk Ryan. Tapi kenyataan berkata lain, aku tak sanggup menahan semua rasa yang kupunya untuknya. Dengan berbekal kepercayaan dalam diri, kuberanikan tuk ungkap semua yang kurasa, berharap Ryan kan mengerti. Setidaknya, dia tahu apa yang kurasa, walaupun dia tak merasakan hal yang sama denganku. Namun, setelah kejadian itu, aku merasa canggung dengannya. Kebersamaan persahabatan yang dulu terukir indah tak kurasakan lagi. Rasa penyesalan muncul dalam hatiku. Tak seharusnya kuungkap semuanya jika akhirnya akan seperti ini.
***
Seperti biasa, senyum mentari selalu jadi penghias hari Mingguku. Kuhabiskan hari libur ini hanya untuk berdiam diri di rumah. Ketika lamunanku tentang Ryan menguasai imajinasiku, suara ketukan pintu membuatnya hilang seketika. Bergegas aku membuka pintu, agar tamu yang datang tak lama menunggu. Seseorang yang tak asing bagiku berdiri tegak dihadapanku dengan setangkai mawar merah ditangannya.
“Ryan…?”, tanyaku sedikit gugup.
“Ya… Ini aku,, kenapa? Kamu udah lupa denganku?”.
“Hhm… gak… aku gak lupa, mana mungkin aku lupa denganmu”, kataku setengah berbisik.
“Apa...?" tanya Ryan penasaran.
“Gak ada kok… Mari silakan masuk”.
“Hhm… Sudah lama rasanya aku tak main lagi kesini”.
“Iya… sejak kejadian waktu itu”, kataku menunduk malu.
Suasana hening sejenak. Ryan menatapku.
“Hhm… Ryan, mau minum apa?”, ucapku memecah keheningan siang itu.
“Gak usah repot-repot, aku gak lama kok, aku kesini cuma mau ngajak kamu jalan”.
“Jalan…?”
“Iya… maw gak…? Udah lama kan kita gak jalan bareng. Jadi gak ada salahnya aku ngajakin kamu kan..?”
“Ya udah… aku ganti baju dulu ya… Sama buatin kamu minum dulu…”.
“Yuk berangkat! Gak lama nunggu kan?”
“Gak kok, santai aja”.
“Kita mau kemana nie…?”
“Kemana ya…??? Aku juga gak tahu… hehehe…”.
“Lho, gimana sie…??? Awas aja ntar macem-macem, ku tinju ntar…”
“Mangnya kamu bisa tinju, Sha…?” kata Ryan meledekku.
“Bisalah kalau lagi gawat darurat”, balikku menjaili Ryan.
“Iya dech… Tenang ja, aku dah tahu kok kita mau kemana.” “Ayo cepet naik”.
“Ya… Jangan ngebut ya…”.
“Siipp….”.
“Ayo turun, udah sampai nie”
“Lho… kok kita ke sekolah? Ini kan hari Minggu?”
“Udah… ikut aja”.
Ryan menarik tanganku dan membawaku ke suatu tempat yang tak mungkin kulupakan.
“Ini…???”
“Ya… ini taman tempat pertama kali kamu melihat aku… Dan…”.
“Dan,,, apa…?”.
“Dan aku… Aku… Aku mau taman ini jadi saksi, kalau aku… Aku… juga sayang sama kamu”.
“Apa yang kamu rasakan sama seperti yang aku rasakan, Sha… Tapi aku terlalu takut untuk bilang itu semua ke kamu. Sampai akhirnya kamu yang harus bilang semuanya ke aku”.
“Dan sekarang, aku mau kamu jawab pertanyaan aku, Sha…”
“Pertanyaan apa…?”
“Marsha,,, kamu mau gak,,, jadi pacarnya aku?” tanya Ryan penuh harap.
“Aku… aku… gak bisa…”
“Kenapa?”, tanya Ryan dengan raut wajah yang mulai kecewa.
“Aku gak bisa bohongi perasaanku lagi, kalau aku juga sayang ma kamu. Hhm… dan aku mau jadi pacarmu, Ryan…”, jawabku agak malu.
“Semua yang kamu bilang benarkan, Sha…?”
“Ya… Ryan…”.
“Makasi ya, Sha, kamu dah terima cintanya aku. Aku juga sayang banget ma kamu”.
Aku bahagia mendengar semua pernyataan Ryan. Keajaiban yang dulu kunantikan akhirnya datang padaku. Semua rasa sesal yang pernah kurasa, berganti dengan harapan kebahagiaan. Dan kini hariku tak akan sepi lagi karena hadirnya Ryan, pacarku sekaligus sahabatku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar