Kamis, 19 Januari 2012

Cerpen - Ketulusan Penghapus Duka

Karya : Ni Luh Putu Mira Suantari  

Duka sang pertiwi seakan tak pernah habis menanggung murka sang pencipta. Satu persatu nestapa itu kian menghampiri keangkuhan sang makhluk yang segan menoleh ke sesamanya. Rintih demi rintih duka itu kian mereka terima. Sebagai pahala atas keegoisannya selama ini.

Linangan air mata itu tak jua terhapus dari kedua bola matanya, menyiratkan luka yang teramat di hatinya. Bathinnya kian memekik, melantunkan amarah yang tak mampu diucapkannya hingga kini. Matanya yang dulu bercahaya suka kini kian sembab, terbuai oleh rasa penyesalan dan kekeliruan yang ia lakukan selama ini.

Gadis itu masih tak beranjak dari tempat duduknya, hanya terpaku meratapi karma yang tengah dilakoninya. Satu persatu kenangan terpahit itu merasuk dalam ingatannya, menjamahi benaknya yang telah jenuh akan semua duka yang diembannya. Kenangan itu kian jelas terbayang, terukir perih dalam ingatannya, menambah luka yang selalu ingin ia sembuhkan.
Malam itu butiran bening berjatuhan dengan anggunnya. Membasahi kegelapan malam di mana rembulan enggan berpijar. Entah apa yang terjadi di malam yang dingin itu. Keanggunan sang hujan tiba-tiba berubah menjadi butiran ganas yang tiada hentinya. Rintik hujan yang semula lembut kini beradu, disertai dendang sang petir dan gemuruh air yang bersahutan penuh emosi. Malam yang tadinya tenang dengan hiasan hujan nan lembut, kini berganti dengan luapan amarah sang pencipta alam. Menyapu segala makhluk egois yang tengah terlelap dalam mimpi indahnya, meluluhlantakkan segala harta duniawinya.

Gadis itu semakin menitikkan air mata, terhanyut dalam duka yang selalu mengusik bathinnya. Ia yang dulu berpijak di atas suka dan kesombongan dalam hidupnya, kini harus terbuai dalam duka yang setia menjadi empedu di hidupnya.

Dengan tabah gadis itu mulai bangkit. Dilangkahkannya kaki-kakinya yang rapuh, menyusuri liku jalan yang tengah menantinya. Dengan perlahan dihampirinya sisi jalanan yang penuh dengan hiruk pikuk kendaraan. Menghampiri saudara-saudaranya yang masih beruntung sambil menengadahkan tangannya yang kotor. Dengan penuh harap ia meminta belas kasihan sang penghuni jalan. Dengan raut wajah yang begitu memelas, ia menodong semuanya, berharap seseorang mau mengulurkan tangan untuknya.

Namun karma itu seakan tak ingin beranjak dari hidupnya, selalu menghampiri gadis belia yang kini sebatang kara. Tak ada seorang pun yang suka mengulurkan tangannya demi gadis itu. Tak satu pun dari penghuni jalan itu yang mau memandang ke arahnya ataupun hanya untuk meliriknya. Gadis yang dulunya angkuh itu kini dicampakkan, dicaci dan dihina seperti yang pernah ia lakukan pada orang-orang kecil semasa jayanya.

Hingga kini tiada satu pun belas kasihan yang didapatnya, hanya cibiran penuh kebencian yang menjadi imbalan tengadahan tangannya. Hinaan demi hinaan itu kini dipikul gadis itu seorang diri, menjadi beban yang begitu berat untuk seorang gadis seumurannya. Tiada tempat berbagi yang mampu ia temui. Tiada lagi kawan yang setia menemani hari-harinya.

Dengan lunglai ia kembali ke sudut jalan, tersirat kekecewaan yang begitu mendalam di wajahnya. Kaki-kaki yang tak beralas itu pun mulai perih terbakar api jalanan, mulai terasa berat untuk melangkah lebih jauh lagi. Ia yang tadinya berusaha tegar kini terduduk lemas di bibir jalan itu. Dirasakannya hatinya kian tercabik-cabik, terpaku hinaan yang begitu melekat dalam sanubarinya. 

“Ya Tuhan… Inikah karma yang harus aku terima? Kenapa kau berikan aku cobaan seberat ini? Apa salahku, Tuhan?”, pekik gadis itu dalam hati. 

“Kenapa kau ambil semua keluargaku yang tak bersalah? Kenapa kau musnahkan segala hartaku? Kenapa tidak Kau musnahkan aku sekalian? Kenapa?”, bathinnya meringis.

Ditengadahkannya kembali kedua tangannya itu, berdoa meminta ampunan Yang Kuasa atas segala sikapnya selama ini.

“Ya Tuhan… Maafkanlah semua dosaku… Maafkanlah diriku yang hina ini, yang tak pernah tahu berterima kasih atas segala berkahMu dulu. Kumohon Tuhan,,, tunjukkan aku jalanMu. Ampuni aku,,, Tuhan”, pinta gadis itu sembari menghapus air matanya.

Gadis itu berusaha berdiri, melawan duka bathin yang tengah diidapnya. Dengan terhuyung-huyung ia melangkah, mencari seseorang yang mampu melepaskan duka yang menyelimuti hidupnya. Namun rasa sakit itu selalu membuatnya lemah, membuatnya terpuruk dan tak mampu menghadapi semua cobaan yang ditimpakan padanya. Ia pun kembali terjatuh.

***

Senyum sang mentari masih setia menghiasi siang hari yang terik, tak ingin pesonanya tergeser oleh rayuan awan kelabu. Debu-debu jalanan pun masih tetap beradu di tengah semilir angin, memberi sedikit kesejukan di tengah hiruk pikuk dan kebisingan jalan.

Perlahan dibukanya kedua kelopak matanya, bersiap menyambut duka yang kian hari kian bertambah untuknya. Diamatinya sekeliling tempatnya terpaku, terhampar kardus-kardus yang usang serta gundukan sampah yang berpadu jadi satu. Aroma limbah yang menusuk hidungnya, seakan melekat dan menjadi ciri dari tempat yang asing itu. 

“Kakak sudah bangun?”, kata seorang gadis kecil yang datang menghampirinya. 

“Siapa kamu? Kenapa aku ada disini?”, tanya gadis belia itu.

Ditatapnya gadis kecil yang menghampirinya itu dengan seksama. Rupanya tak jauh beda dari peran yang dilakoninya. Pakaian gadis itu lusuh tersapu debu jalanan, dengan beberapa tambalan jahitan pada bagian sisinya. Pahitnya hidup yang dirasakannya terlihat jelas dari kerutan di wajahnya, namun masih tersirat sedikit keceriaan yang terpancar dari kedua mata gadis kecil itu.

Aku Kadek. Tadi aku melihat kakak pingsan di pinggir jalan itu, lalu aku bawa kakak ke sini”, sahut gadis kecil itu. 

“Kakak pasti belum makan ya?”, sambung gadis kecil penuh perhatian. 

“Iya…”, jawab gadis belia itu perlahan. 

“Ini makanlah Kak, tadi aku membelinya”, ucap Kadek sambil mengulurkan sepotong roti ke arah gadis itu.

Dilihatnya gadis kecil itu begitu tulus mengulurkan sepotong roti padanya. Sebuah ketulusan yang baru pertama kali ia dapatkan dari orang yang baru dikenalnya. 

“Bagaimana kau bisa mendapatkan roti ini?”, tanya gadis itu sembari meraih roti yang diberikan padanya. 

“Tadi aku mendapatkan sedikit uang dari bibi yang melintas di jalan itu. Kemudian aku teringat kakak yang tadi aku tinggalkan di sini. Ya sudah, aku membeli roti ini”, sahut Kadek sambil mengulum senyumnya.

Gadis itu tertegun, terketuk hatinya mendengar kata-kata gadis kecil yang duduk di hadapannya. Tak disangkanya anak sekecil itu masih memiliki rasa kasihan pada dirinya, rasa iba pada orang lain yang baru ditemuinya. Dengan segala kekurangan yang ia miliki, ia masih mampu berbuat baik pada orang lain, terlebih orang yang baru saja ia temui. Ketulusan gadis kecil itu pun kini merambat dalam hatinya, mencairkan hatinya yang beku akan harta dan keangkuhan yang dulu merajainya.

Gadis itu pun memakan roti pemberian Kadek dengan lahapnya. Meskipun hanya sepotong roti, namun kini ia bisa mengerti betapa harusnya ia bersyukur atas semua yang sang pencipta berikan padanya. Bersyukur atas kesempatan hidup yang masih diberikan padanya, bersyukur karena masih ada seseorang yang peduli akan dirinya.

Ketulusan Kadek dengan sepotong rotinya itu kini menyadarkannya, mengajarkannya akan satu sikap yang telah ia singkirkan dari hidupnya sejak dulu. Satu sikap yang harusnya ia lakukan pada orang lain yang kesusahan seperti yang ia alami saat ini. Satu sikap pengorbanan yang mencerminkan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi.


Written by : MiiSsu ~ MiiSsu says :

Artikel Cerpen - Ketulusan Penghapus Duka ini diposting oleh MiiSsu pada hari Kamis, 19 Januari 2012. Terima kasih atas kunjungan Anda :) Hope you enjoy my blog :) Please write your suggestions :D

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar: